YOUR COMENT TO MY BLOG ?

Minggu, 12 Februari 2012

EKSISTENSI MASYARAKAT ADAT

Berawal dari pendapat Prof. Arya Santos dalam bukunya “Negara Atlantis” yang telah melakukan penelitian dalam rentang waktu 30 tahun akhirnya membuat kesimpulan yang cukup mempropaganda relung berpikir masyarkat (civil society) dengan teorinya yang menyatakan bahwa awal perkembangan dalam suatu peradaban di muka bumi ini ternyata dimulai dari dataran Asia tepatnya Indonesia. Berawal dari teori inilah kita dapat menemukan suatu filosofische gronslag mengenai keberadaan masyarakat adat yang ternyata jauh sebelum masuknya bangsa Eropa, bahkan jauh sebelum adanya zaman kerajaan telah mendiami Nusantara ini.

Diawali dengan dasar history yang dimulai kira-kira 2 juta tahun yang lalu, dimana pada massa itu tepatnya zaman Antar Pluvial I/II hiduplah Meganthropus Paleaojavanicus. Menurut pendapat Teuku Jacob moyang bangsa Indonesia adalah Homo Wajakensis  yang juga merupakan moyang-moyang orang-orang melayu Purba dan Austro-Melanesoid yang menetap di daerah Asia Tenggara dan secara parallel menyebar ketimur laut serta tenggara. Meloncat pada perkembangan selanjutnya yaitu pada abad ketiga sampai keempat Masehi, mulailah masuk kebudayaan India yang dapat dilihat dari unsur kebudayaan yang di bawahnya dikarenakan missi penyebaran Agama Hindu dan Budha, ekspektasi dari perkembangan ini khususnya di Indonesia ditandainya dengan adanya kepandain menulis. Sejak perkembangan inilah dimulai suatu dimensi baru ditandai dengan berhentinya abad pra-history yang dimulai dengan abad history ataupun abad sejarah perkembangan Bangsa Indonesia. Melalui mekanisme perniagaan dengan system berter maka timbullah kerajaan-kerajaan di Indonesia yang diperkirakan pada abad keempat masehi. Urain diatas akan memberikan suatu stimulus bahwa tidak ada ras yang murni yang mendiami nusantara ini, melainkan persilangan yang dialami secara estapet dalam rentang waktu berabad-abad antara keturunan satu dengan keturunan lainya. Meloncat lagi pada perkembangan selanjutnya yakni sejak Bangsa Eropa datang ke Indonesia tepatnya pada abad ke 16 maka dimulailah lagi interaksi antara orang bangsa Eropa dengan orang asli Indonesia, dimana tepatnya ketika kerajaan Belanda mengambil alih nusantara ini dengan nama Hindia Belanda maka semakin tegas lagi kerajaan Belanda mengakui keberadaan orang asli Indonesia itu. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan Pasal 163 IS (Indische Staateregeling) yang pada pokoknya menyatakan bahwa ada tiga golongan masyarakat yang terbagi di Hindia Belanda untuk menentukan validatas aturan hukum yang akan diberlakukan,diantaranya :
  • Golongan Eropa
  • Golongan Timur Asing
  • Golongan Bumi Putra (Inlanders)
Pada zaman diberlakukanya Indische Staateregeling, asimilasi atau peleburan total orang-orang yang bukan termasuk golongan rakyat Indonesia asli ke dalam golongan rakyat Indonesia asli atau dikenal dengan istilah “oplossing” dalam Pasal 163 IS atau yang pada umumnya disebut “maatshppelijke overgang” ( peralihan kepada kelompok kesatuan masyarakat lainya). Kondisi ini sangat dipengaruhi politik hukum Hindia belanda dengan adanya konfigurasi pemilahan social “pri-nonpri”, dimana masyarakat colonial ini dibagi dalam struktur social atau disebut sebagai struktur kasta colonial. Walaupun perlakuan itu bertendensi deskriminatif terhadap etnis tertentu di Indonesia, akan tetapi hal ini dapat menstimuslus relung berpikir kita bahwa ada kekuatan history yang memberikan legal standing terhadap keberadaan masyarakat adat yang notabeanya adalah penduduk asli Hindia Belanda dan bukanlah hal yang dapat disangkal lagi bahwa keberadaan masyarakat adat itu mempunyai imperrium histories yang dapat menunjukkan eksistensinya. Menurut B.P Paulus yang termasuk golongan bumiputera (Pasal 163 IS) adalah mereka yang menjadi anggota salah satu kesatuan masyarakat desa atau kesatuan masyarakat territorial, baik keanggotaan karena pertalian darah maupun karena lingkungan daerah tempat tinggal, tetapi keduanya menempati bidang-bidang tertentu secara tradisional menjadi milik kesatuanya. Hal ini dipertegas oleh Van Vollenhoven yang menyatakan ada 18 daerah masyarakat adat di Indonesia, walapun teori ini difalsifikasi karena cacat secara metodologi.
Setelah PPKI (dokaritzu zunbi linkai) berhasil merumuskan norma dasar (ground norm) atau Konstitusi yang akan dijadikan aturan main dalam proses ketatanegaraan nantinya maka di deklarasikanlah kemerdekaan oleh Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1945, namun perjalanan ketatanegaraan itu pun tidak selaras dengan apa yang diinginkan sehingga terjadi perubahan-perubahan akan norma dasar (UUD), dimulai dari UUD 1945-Konstitusi RIS-UUDS 1950-sampai dengan kembali lagi ke UUD 1945 melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan dasar hukum yakni staatenoordrecht dan asas salus populi supreme lex serta penegasan DPR untuk bekerja di bawah UUD 1945 pada 22 Juli 1959 menegaskan kembali berlakunya UUD 1945. Hal ini sekilas sejarah perkembang ketatanegaraan Indonesia, namun istilah orang-orang Indonesia asli telah dimulai ketika akan dibentuk suatu norma dasar yang mengatur system ketatanegaraan Indonesia. Secara Konstitusional istilah orang bangsa Indonesia asli terdapat dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan uu sebagai warga negara”. Namun penentuan orang-orang bangsa Indonesia asli, sebagai warga negara dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945, tidak didasarkan kepada asas ius sanggunis atau ius soli atau campuran dari kedua asas tersbut, melainkan hanya kepada status atau kedudukan hukum sebagai orang bangsa Indonesia asli. Jika memperhatikan turunan dari Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 yakni UU No. 3 Tahun 1946 menentukan asas yang dipakai yakni ius soli, hal ini terumus dalam Pasal 1 huruf a “warga negara Indonesia aialah orang yang asli dalam daerah Negara Indonesia”. Sehingga dalam rangka purifikasi uu kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif adalah suatu keniscahyaan untuk disempurnakan. Dalam kaitanya, validitas aturan hukum yang ada tidak perlu menggunakan lagi istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang tercantum dalam uu tentang kewarganegaraan dan Pasal 26 (1) UUD 1945 pra-amandemen. Akan tetapi dari perjalanan panjang rumusan konsep bangsa Indonesia asli tersebut, landasan konstitusionalnya setelah Pasal 26 UUD 1945 diamandemen tetap dengan nafas yang sama, yakni :
(1)    Yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang lain yang disahkan dengan uu sebagai warga Negara;
(2)    Penduduk ialah Warga Negara Indonesia dan Orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia;
(3)    Setipa Warga Negara dan Penduduk diatur dengan uu.
Sebagai turunan dari ketentuan Pasal 26 UUD 1945 maka dibentuklah uu organik yaitu UU No. 12 Tahun 2006, yang konsep dan pengertian orang-orang bangsa Indonesia asli yang masih menyisakan persoalan politik yang tidak tuntas serta masih bertendensi deskriminatif, akan tetapi uu a quo telah menawarkan solusi bagi penyelesain persoalan hukum kewarganegaraan yang terjadi dimasa orde baru.Oleh karena itulah, dengan diberlakukanya UU No. 12 Tahun 2006 diharapkan masyarakat Indonesia yang bersifat pluralisme dan multicultural lebih terjamin keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak, baik dari sisi administrative seperti pembuatan KTP maupun dari sisi rule of law procedural yakni proses penuntutan jika hak konstitusionalnya di reduksi oleh bestuur.
Bertolak dari hal tersebut maka akan tampak bahwa ada usaha emaskulasi terhadap masyarakat adat melalui kontitusi kita yang merupakan sumber dari segala sumber hukum, ini berarti pula peraturan-peraturan di bawahnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang hierarkis peraturan perundangan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi. Sehingga nampak secara jelas bahwa doktrin kolonialisasi yang diterapkan pada zaman Hindia Belanda coba diterapkan kembali dalam suasana kemerdekaan yang semua warga negaranya di berikan hak yang sama di depan hukum (equality before the law) dan keberadaan masyarakat adat pun semakin hari semakin terancam eksistensinya, tidak saja akan hak-hak tradisonalnya juga adat kebiasaanya yang diperoleh secara turun temurun akan ikut terkontaminasi oleh validatas aturan hukum yang ada.
Keadaan ini lah jika tetap dibiarkan tanpa ada suatu mekanisme penyelesain yang secara efektif dalam mengatasinya akan menyebabkan disintegrasi bangsa karena primordialisme serta semangant kedaerahan yang pernah terjadi di massa lalu akan terulang kembali, sehingga penulis mengajukan suatu gagasan dalam wacana amandemen tahap V yang sedang bergulir saat ini untuk memperbaiki ataupun mengubah ketentuan Pasal 26 Ayat (1) UUD 1945 dengan menghilangkan hal-hal yang bertendensi deskriminatif agar kolonialisasi yang terjadi di massa Hindia Belanda tidak terulang di zaman reformasi sekarang. Dan jika hal-hal yang telah diuraikan diatas dimanefistasikan dengan baik di dalam konstitusi maka tidak ada ruang untuk melakukan emaskulasi terhadap masyarakat adat dan suatu mekanisme untuk tetap menjaga warisan kebudayaan agar tetap bertahan di tengah zaman globalisasi saat ini tanpa menapikkan kelangsungan masyarakat adat itu sendiri serta salah satu cara untuk menghindari pendiskriminasian terhadap warga negara dikarenakan Indonesia adalah negara hukum, dimana dalam konsep negara hukum “rechstaat” yang dipelopori oleh F. Julius Stahl adalah mutlak adanya perlindungan terhadap HAM “the protection of right”, sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar