YOUR COMENT TO MY BLOG ?

Minggu, 12 Februari 2012

ULTRA PETITA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERSPEKTIF PROGRESIF

Secara terminolgi ultra petita dapat diartikan sebagai suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim melebihi apa yang di petitakan oleh yang berperkara yang dalam hal ini adalah putusan hakim Mahkamah Konstitusi

Perkembangan ketatanegaraan adalah suatu keniscahyaan dalam konstruksi penyelengaraan pemerintahan negara karena kita jangan sampai terjebak ke dalam suatu aliran yang tertutup terhadap perkembangan serta keadaan sekitar atau lebih cenderung berorintasi pada pola legisme yang cenderung konservatif atau ortodoks, hal ini selain akan menghambat perkembangan ketatanegaraan juga akan mencederai dari hakikat ilmu social itu sendiri yang selalu menempatkan diri untuk senantiasa bersifat dinamis bukan statis.
Hal inilah yang coba di manifestasikan oleh hakim mahkamah konstitusi dalam menjatuhkan putusanya, apalagi dalam beberapa waktu yang lalu ketua Mahkamah Konstitusi yaitu Prof. Dr. Mahfud MD, S.H telah memproklamirkan dirinya sebagai pengganut aliran progresif sehingga suatu hal yang biasa jika putusan-putusan mahkamah konstitusi itu ada yang bersifat ultra petita karena memang asusmsi dasar dibentuknya Mahkamah Konstitusi yaitu untuk mengawal konstitusi (the guardian konstitusion), selain itu Mahkamah Konstitusi juga masuk dalam rezim kekuasaan kehakiman dimana di dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 telah jelas menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Rumusan Pasal ini di kemas sedemikian rupa menurut Prof. Jimly dikarenakan sifat pekerjaanya yang menyangkut keadilan terakhir menurut ukuran-ukuran dalam hubungan kepentingan manusia, itulah sebabnya di Indonesia peradilan itu diselanggarakan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercermin dalam mahkota putusan. Hal ini juga tampaknya diterapkan di seluruh dunia yang juga mengganut doktrin bahwa salah satu ciri utama negara hukum adalah adanya indepedency of judiciary karena tanpa peradilan yang bebas tidak ada negara hukum yang demokrasi atau democracy konstitusional sehingga demokrasi itu hanya ada apabila diimbangi oleh rule of law, tetapi rule of law hanya ada apabila terdapat indepedency of judiciary.
Jika berbicara menggenai negara hukum, maka kita akan menemukan suatu perdebatan menggenai konsep negara hukum mana yang diterapkan di Indonesia, apakah konsep negara hukum rechstaate atau konsep negara hukum rule of law ataukah konsep negara hukum yang lain? Perdebatan ini sangat menarik untuk dibahas karena imperium history menunjukkan bahwa Indonesia dulunya pernah dijajah oleh Belanda yang satu diantara negara yang mengganut konsep negara rechstaate, namun kita juga tidak boleh “menepis” pandangan bahwa Indonesia juga menghormati dan mengakui hukum yang berkembang dalam masyarakat yang mana pola ini termasuk dalam konsep negara hukum rule of law. Sebelum membahas hal tersebut kita harus melihat perkembangan konstitusi negara kita yang telah menggalami perubahan 300% , Apalagi perubahan tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan, jika di lihat secara terminology kata “negara hukum” telah disebutkan secara jelas di dalam konstitusi 1949, baik di dalam pembukaanya maupun di dalam Batang Tubuh Pasal 1 ayat (1). Hal itu juga di integrasikan di dalam UUDS 1950 yang juga menyebutkan istilah “negara hukum” secara tegas di dalam pembukaanya terkhusus alinea ke-4 dan dalam Bab 1 Bagian 1, Pasal 1 ayat 1 UUDS 1950.
Dalam UUD 1945 pra-amandemen, baik di dalam pembukaan maupun batang tubuhnya tidak kita temukan rumusan atau istilah “negara hukum” . Namun demikian kita dapat menjumpai istilah “negara hukum” di dalam penjelasan umumnya yaitu pada penjelasan “Sistem Pemerintahan Negara”, yang menyebutkan bahwa “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechstaate). Kemudian dikarenakan penjelasan UUD 1945 pasca-amandemen bukan lagi dianggap sebagai suatu kesatuan dengan Pembukaan dan Batang Tubuhnya maka istilah “negara hukum” di gunakan secara jelas dan tegas di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sesudah perubahan.
Perkembangan penggunaan istilah negara hukum diatas dapat menghantarkan kita ke dalam suatu pemahaman dari penggunaan istilah tersebut dikarenakan permainan terminolgi juga sangat berpengaruh di dalam melihat konsep negara hukum yang mana yang dikembangkan di dalam konstitusi kita. Jika kita lihat di Inggris atau di negara-negara Anglo Saxon yang bertumpu pada system common law  yang memiliki karektaristik judicial dikenal terminology “the staate according to the rule of law”, yang identik dengan rumusan atau ungkapan “negara yang berdasar atas hukum”. Sedangkan menurut Daniel S. Lev istilah “rechstaate” di antara tanda kurung dalam penjelasan UUD 1945 pra-amandemen merupakan terminology yang lazim digunakan di negara-negara Eropa Kontinental yang bertumpu pada system civil law yang berkarestaristik administrative.
Digunakanya kedua terminology tersebut, baik di dalam penjelasan UUD 1945 pra-amandemen maupun di dalam Pasal  1 ayat (3) UUD 1945 pasca-amandemen, telah menunjukkan kepada kita bahwa konsep negara hukum Indonesia juga dipenggaruhi oleh paham Anglo Saxon “the rule of law” dan Eropa Kontinental “rechstaate”. Penggaruh kedua konsep neagra hukum diatas juga disinyalir oleh Padmo Wahyono yang menyatakan Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum, dengan rumusan “rechstaate” di antara kurung, dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian Negara Hukum apda umumnya (genusbegrip), disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Artinya, digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.
Penjelasan menggenai konsep negara hukum yang mana yang dikembangkan dalam konstitusi kita sangatlah mendukung argumentasi di dalam tulisan ini dikarenakan hakim-hakim di tingkat peradilan menurut konsep negara hukum “rechstaate” hanya sebagai “corong” undang-undang saja, sedangkan hakim-hakim di tingkat peradilan dalam konsep negara hukum “rule of law” diberikan keleluasan di dalam menentukan putusanya serta kebebasan untuk menggali hukum yang ada dan hidup dalam masyarakat. Oleh karena itulah secara filosofis putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita tersebut dapat dibenarkan karena konstitusi kita mengganut kedua konsep negara hukum di atas yang mana satu diantara konsep neagra hukum itu memang memberikan keleluasan kepada hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Secara filosofis putusan Mahakamah Konstitusi yang bersifat ultra petita itu dapat dibenarkan pun demikian dengan keberadaan putusan yang bersifat ultra petita itu. Sebagaimana pernah disinyalir oleh Sudikno Metukusomo dan A. Pitlo yang menyatakan bahwa dalam suatu negara hukum, pemerintah barus menjamin adanya penegakan hukum dan tercapainya hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang harus selalu mendapat perhatian, yaitu : keadilan, kemanfaatan atau hasil guna (doelmatiegheid), dan kepastian hukum. Terkhusus unsur kemanfaatan hukum, hal ini sangat dirasakan oleh masyarakat (civil socity) dalam hal pemilihan umum dimana dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita maka masyarakat yang tidak termasuk dalam daftar pemilihan tetap dapat menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, sehingga apa yang terjadi di dalam masyarakat (reality in socity) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita ini sangat dirasakan manfaatnya terkhusus dalam masa pemilihan umum.
Dari urain di atas selain dapat dilhat dari aspek filosfis, yuridis konstitusional, maupun secara empiric keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita dapat dibenarkan dan kita harus menggikuti perkembangan hukum yang ada karena dengan begitu kita juga telah terbuka dengan perubahan sembari menggawasi agar Mahkamah Konstitusi dapat bertindak sebagaimana mestinya yang selalu mengutamakan keberadaan konstitusi agar selalu hidup dalam masyarakat (the living contituion) yang sarat dengan nilai-nilai keadailan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu penulis juga ingin menyampaikan suatu gagasan bahwa perlu adanya penegasan kewenangan (authority)  Mahkamah Konstitusi untuk memutus suatu perkara dengan menggandung sifat ultra petita sehingga baik dari aspek kemanfaatan hukum maupun kepastian hukum dapat terpenuhi walaupun tidak menutup kemungkinan selama belum ada kewenangan secara tegas itu Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memutus suatu perkara yang bersifat ultra petita karena secara hakikat hukum, kepastian hukum itu selalu akan dikesampingkan ketika berhadapan dengan kemanfaatan hukum dan kemanfaatan hukum selalu dikesampingkan jika berhadapan dengan keadilan hukum, setidaknya itulah pola di dalam konstruksi penyelengaraan negara yang berdasar atas hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar