Hal pertama yang harus dipahami
ialah mengenai urgnsi dari suatu koalisi dimana urgensi dari suatu koalisi
ialah mewujudkan efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pemilihan dan
pemerintahan. Sehingga dapat dipahami bahwa koalisi merupakan suatu jembatan
penyelamat dalam minciptakan efektivitas dan efesiensi penyelnggaraan tatakelola bernegara kita.
Tidak itu saja, keberadaan koalisi
sebenarnya harus dipahami juga dalam bentuk ius constitutum yakni dalam konteks
realitas kekinian bernegara kita yang mana jika diletakkan dalam tata kelola
bernegara kita pasca empat kali amandemen Undang-undang dasar 1945 maka yang
dihasilkan adalah system presedensial disandingkan dengan system multi partai
yang khas sebagai konsekuensi logis dari transformasi masa otoriter ke masa
demokrasi.
Akan berbeda halnya, jika system
presidensial dikombinasikan dengan system dwi partai seperti di AS maka ada
tidaknya koalisi bukan merupakan suatu permasalahan yang prinsipil. Tetapi jika
system presidensial dikombinasikan dengan system multi partai yang khas seperti
di Indonesia maka koalisi merupakan suatu jembatan penyelamat untuk mewujudkan
penyelenggaraan pemilihan dan pemerintahan yang efektif dan efesian.
Hal ini diargumentasikan karena di
satu sisi presiden memiliki posisi yang relative kuat tapi di sisi lain DPR
merupakan lembaga yang juga memiliki kekuasaan yang besar, oleh karenanya jika
tanpa koalisi maka kemungkinan efektivitas pemerintahan akan tergaanggu hal ini
disebabkan karena faktor fragmentasi kekuatan politik di parlemen dan jalan
buntu bila terjadi konflik relasi eksekutif dan legislative. Oleh karena itu,
koalisi merupakan jalan penyelamat bagi system pemerintahan presedensial
dikombinasikan dengan system multi partai yang khas seperti yang terjadi di
Indonesia.
Bertolak dari urain diatas, sangat
jelas bahwa konstelasi politik di DPR sangat mempengaruhi system presidensial
di Indonesia. Hal ini lagi-lagi dikarenakan system presedinsial dikombinasikan
dengan system multi partai sehingga menghasilkan konstelasi yang sangat besar
di DPR dan mengharuskan adanya suatu koalisi serta diperparah dengan besarnya
kewenangan DPR, baik dalam kewenangan presiden maupun dalam kewenangan DPR itu
sendiri sehingga dalam konteks ini dapat dipahami bahwa koalisi merupakan suatu
keniscahyaan.
II.
Tahapan Koalisi
Dalam melakukan suatu koalisi
sebenarnya dapat dilahat dalam beberapa tahapan pembentukan suatu koalisi yakni
koalisi pada tahap pencalonan presiden, koalisi pada tahap pemilihan presiden
maupun koalisi pada tahap penyelengaraan pemerintahan. Hal inilah yang disebut
di awal sebagai urgensi dari suatu koalisi.
a. Koalisi
pada tahap pencalonan presiden.
Ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-undang 1945 telah
menyiratkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politi peserta pemilu dan sebagai backdown
dari ketentuan ini yaitu Undang-undang No. 42 Tahun 2008 tentang pemilihan
presiden juga menghendaki adanya presidensial threshold sebesar 20% yang
mengharuskan, baik partai kecil maupun partai besar, melakukan suatu koalisi
agar dapat memenuhi ambang batas tersebut sehingga jelas dalam konsteks ini pun
dapat dipahami bahwa koalisi merupakan suatu keniscahyaan pada tahp pencalonan
presiden dan tidak itu saja dalam konteks ini pun sebenarnya koalisi
mengajarkan suatu kebersamaan dalam membangun bangsa ini.
b. Koalisi
pada tahap pemilihan presiden.
Ketentuan Pasal 6A ayat (3) Undang-undang Dasar 1945
menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden yang terpilih harus mendapatkan
50% tambah satu suaru rakyat Indonesia. Dalam konteks ini pun sebenarnya
koalisi merupakan suatu sarana konsilidasi presiden sebagai upaya dalam
memperkuat basis kalkulasi dukungan public dalam proses pemilihan sehingga jelas
koalisi pada tahap pemilihan presiden juga merupakan suatu keniscahyaan dalam
usaha untuk memnuhi kehendak dari rumusan Pasal 6A ayat (3) tersebut.
c. Koalisi
pada tahap penyelenggaraan pemerintahan.
Telah dijelaskan di awal bahwa diletakkan dalam tata
kelola bernegara kita pasca amandemn keempat Udnang-undang Dasar 1945, selain
memberikan kekuatan yang relative kuat kepada presiden juga memberikan
kekuasaan yang besar pula kepada DPR.
Pengalaman
pemilu tahun 1999-2004 yang meloloskan banyak partai yang tergabung dalam
banyak fraksi telah membuat parlemen begitu gaduh. Kondisi ini diperparah
dengan kenyataan bahwa partai pendukung pemerintahan tidak mampu menggalang
dukungan mayoritas di parlemen. Akibatnya, stabilitas politik menjadi rendah
dan berdampak pada tidak optimalnya pemerintah dalam merealisasikan programnya.
Oleh karenanya, koalisi diharapkan dapat meminimalkan resiko gangguan parlemen
terhadap presiden terpilih dalam menjalankan pemerintahanya.
Dengan
demikian, koalisi adalah rekayas institusional untuk mengurangi distorsi
kombinasi system presidensial dengan system multi partai. Sehingga jelas dalam
konteks ini dapat disimpulkan bahwa tidak akan ada jaminan pemerintahan akan
efektif jika tidak ada koalisi dan di pihak lain juga dapat disimpulkan bahwa
koalisi merupakan suatu keniscahyaan.
Memang
dalam koalisi dimanapun itu, bagi-bagi kekuasaan tidak dapat dihindari. Namun,
dengan focus pada visi, pengejaran kekuasaan itu dapat digiring kea rah yang
lebih mengguntungkan rakyat. Sudah saatnya partai politik duduk bersama
membicarakan program membangun bangsa ini kedepan agar lebih baik dari
sekarang. Oleh sebab itu, dalam upaya membentuk pemerintahan dan pemilihan yang
efektif dan stabil, sudah saatnya membangun koalisi yang berdasarkan kesamaan
visi dan program bukan hanya berdasarkan alasan pragmatism dan kekuasaan belaka
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar