YOUR COMENT TO MY BLOG ?

Minggu, 12 Februari 2012

KOALISI DALAM SISTEM PRESIDENSIAL


I.                    Urgensi Koalisi
Hal pertama yang harus dipahami ialah mengenai urgnsi dari suatu koalisi dimana urgensi dari suatu koalisi ialah mewujudkan efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pemilihan dan pemerintahan. Sehingga dapat dipahami bahwa koalisi merupakan suatu jembatan penyelamat dalam minciptakan efektivitas dan efesiensi penyelnggaraan tatakelola bernegara kita.
Tidak itu saja, keberadaan koalisi sebenarnya harus dipahami juga dalam bentuk ius constitutum yakni dalam konteks realitas kekinian bernegara kita yang mana jika diletakkan dalam tata kelola bernegara kita pasca empat kali amandemen Undang-undang dasar 1945 maka yang dihasilkan adalah system presedensial disandingkan dengan system multi partai yang khas sebagai konsekuensi logis dari transformasi masa otoriter ke masa demokrasi.

Akan berbeda halnya, jika system presidensial dikombinasikan dengan system dwi partai seperti di AS maka ada tidaknya koalisi bukan merupakan suatu permasalahan yang prinsipil. Tetapi jika system presidensial dikombinasikan dengan system multi partai yang khas seperti di Indonesia maka koalisi merupakan suatu jembatan penyelamat untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilihan dan pemerintahan yang efektif dan efesian.
Hal ini diargumentasikan karena di satu sisi presiden memiliki posisi yang relative kuat tapi di sisi lain DPR merupakan lembaga yang juga memiliki kekuasaan yang besar, oleh karenanya jika tanpa koalisi maka kemungkinan efektivitas pemerintahan akan tergaanggu hal ini disebabkan karena faktor fragmentasi kekuatan politik di parlemen dan jalan buntu bila terjadi konflik relasi eksekutif dan legislative. Oleh karena itu, koalisi merupakan jalan penyelamat bagi system pemerintahan presedensial dikombinasikan dengan system multi partai yang khas seperti yang terjadi di Indonesia.
Bertolak dari urain diatas, sangat jelas bahwa konstelasi politik di DPR sangat mempengaruhi system presidensial di Indonesia. Hal ini lagi-lagi dikarenakan system presedinsial dikombinasikan dengan system multi partai sehingga menghasilkan konstelasi yang sangat besar di DPR dan mengharuskan adanya suatu koalisi serta diperparah dengan besarnya kewenangan DPR, baik dalam kewenangan presiden maupun dalam kewenangan DPR itu sendiri sehingga dalam konteks ini dapat dipahami bahwa koalisi merupakan suatu keniscahyaan.
II.                  Tahapan Koalisi
Dalam melakukan suatu koalisi sebenarnya dapat dilahat dalam beberapa tahapan pembentukan suatu koalisi yakni koalisi pada tahap pencalonan presiden, koalisi pada tahap pemilihan presiden maupun koalisi pada tahap penyelengaraan pemerintahan. Hal inilah yang disebut di awal sebagai urgensi dari suatu koalisi.
a.       Koalisi pada tahap pencalonan presiden.
Ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-undang 1945 telah menyiratkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politi peserta pemilu dan sebagai backdown dari ketentuan ini yaitu Undang-undang No. 42 Tahun 2008 tentang pemilihan presiden juga menghendaki adanya presidensial threshold sebesar 20% yang mengharuskan, baik partai kecil maupun partai besar, melakukan suatu koalisi agar dapat memenuhi ambang batas tersebut sehingga jelas dalam konsteks ini pun dapat dipahami bahwa koalisi merupakan suatu keniscahyaan pada tahp pencalonan presiden dan tidak itu saja dalam konteks ini pun sebenarnya koalisi mengajarkan suatu kebersamaan dalam membangun bangsa ini.
b.      Koalisi pada tahap pemilihan presiden.
Ketentuan Pasal 6A ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden yang terpilih harus mendapatkan 50% tambah satu suaru rakyat Indonesia. Dalam konteks ini pun sebenarnya koalisi merupakan suatu sarana konsilidasi presiden sebagai upaya dalam memperkuat basis kalkulasi dukungan public dalam proses pemilihan sehingga jelas koalisi pada tahap pemilihan presiden juga merupakan suatu keniscahyaan dalam usaha untuk memnuhi kehendak dari rumusan Pasal 6A ayat (3) tersebut.
c.       Koalisi pada tahap penyelenggaraan pemerintahan.
Telah dijelaskan di awal bahwa diletakkan dalam tata kelola bernegara kita pasca amandemn keempat Udnang-undang Dasar 1945, selain memberikan kekuatan yang relative kuat kepada presiden juga memberikan kekuasaan yang besar pula kepada DPR.
            Pengalaman pemilu tahun 1999-2004 yang meloloskan banyak partai yang tergabung dalam banyak fraksi telah membuat parlemen begitu gaduh. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa partai pendukung pemerintahan tidak mampu menggalang dukungan mayoritas di parlemen. Akibatnya, stabilitas politik menjadi rendah dan berdampak pada tidak optimalnya pemerintah dalam merealisasikan programnya. Oleh karenanya, koalisi diharapkan dapat meminimalkan resiko gangguan parlemen terhadap presiden terpilih dalam menjalankan pemerintahanya.
            Dengan demikian, koalisi adalah rekayas institusional untuk mengurangi distorsi kombinasi system presidensial dengan system multi partai. Sehingga jelas dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa tidak akan ada jaminan pemerintahan akan efektif jika tidak ada koalisi dan di pihak lain juga dapat disimpulkan bahwa koalisi merupakan suatu keniscahyaan.
            Memang dalam koalisi dimanapun itu, bagi-bagi kekuasaan tidak dapat dihindari. Namun, dengan focus pada visi, pengejaran kekuasaan itu dapat digiring kea rah yang lebih mengguntungkan rakyat. Sudah saatnya partai politik duduk bersama membicarakan program membangun bangsa ini kedepan agar lebih baik dari sekarang. Oleh sebab itu, dalam upaya membentuk pemerintahan dan pemilihan yang efektif dan stabil, sudah saatnya membangun koalisi yang berdasarkan kesamaan visi dan program bukan hanya berdasarkan alasan pragmatism dan kekuasaan belaka saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar